Hak Atas Kesehatan Masyarakat Pesisir Selama Pandemi Diabaikan Negara

Hak Atas Kesehatan Masyarakat Pesisir Selama Pandemi Diabaikan Negara

JAKARTA-ZONASIDIK.COM| Masyarakat Pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, serta masyarakat adat pesisir, merupakan kelompok yang sangat rentan saat menghadapi gelombang pandemi yang menghantam Indonesia sejak awal 2020 lalu.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2021) mencatat sejumlah dampak pandemi bagi kehidupan masyarakat pesisir, di antaranya pertama, terputusnya rantai dagang nelayan dengan pasar, terutama di Kawasan-kawasan pulau kecil Indonesia yang ekonominya sangat tergantung pada Kawasan pulau besar.

Kedua, jatuhnya harga ikan karena nelayan hanya menjual ikan tangkapannya di kawasan terbatas, berupa perkampungan yang merupakan Kawasan tinggal nelayan atau perkampungan tetangga yang merupakan Kawasan agraris.

Bacaan Lainnya

Ketiga, nelayan mengalami kerugian secara ekonomi karena tidak mendapatkan income yang memadai pada saat yang sama, hasil tangkapan mereka menurun drastis akibat krisis iklim yang terus memburuk.

Keempat, di sejumlah wilayah di Indonesia, masyarakat pesisir harus menghadapi ancaman perampasan ruang berupa ekspansi proyek skala besar seperti pertambangan pasir dan reklamasi yang menghancurkan Kawasan tangkap mereka.

Kelima, di atas semua itu, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling menderita karena beban kehidupan mereka semakin berlipat dalam rangka memenuhi ekonomi keluarga.

Beberapa bulan setelah pandemi menghantam pemerintah Indonesia menggencarkan program vaksinasi, termasuk di Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang menjadi tempat tinggal masyarakat pesisir.

“Berbagai temuan di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan represif dengan cara memaksa dan tanpa memberikan pilihan adalah cara kerja dari program vaksinasi ini. Akhirnya, secara psikologis masyarakat pesisir berada dalam ketakutan,” ungkap Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, Senin (27/09/2021).

Contoh pendekatan represif ini, lanjut Susan Herawati, dapat ditemui di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan daerah lainnya di pesisir Indonesia, dimana nelayan dan perempuan nelayan dipaksa ikut program vaksinasi. Jika tidak ikut, mereka diancam tidak akan diberikan bantuan sosial dari Pemerintah.

Cara-cara semacam itu, mendapatkan legitimasinya dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

“Isi perpres tentang vaksinasi corona ini menetapkan sanksi bagi mereka yang menolak vaksinasi corona, sebagaimana diatur dalam Pasal 13A Ayat 4. Terdapat 3 jenis sanksi administratif yang bisa dijatuhkan kepada penolak vaksinasi corona, yakni: Penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda,” katanya.

Susan menilai, Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 bertentangan dengan sejumlah aturan lebih tinggi, diantaranya Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Pasal 4 & 5) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan” dan “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau dan juga setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.

“Dengan demikian, hak atas kesehatan masyarakat pesisir selama pandemi ini diabaikan oleh negara,” pungkas Susan. (*)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *