MK Tolak Uji Formil UU CK, KIARA: Demi Investasi, Rakyat dan Konstitusi Diabaikan!

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

JAKARTA-ZONASIDIK.COM| Pada 2 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan para pemohon, dengan kesimpulan bahwa seluruh dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dengan adanya putusan MK tersebut, maka status UU Cipta Kerja (UU CK) adalah konstitusional dan masih berlaku.

Merespon putusan MK terkait Uji Formil UU CK, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menegaskan bahwa seluruh lapisan dan elemen masyarakat mulai dari nelayan, petani, buruh, masyarakat adat hingga pemerhati lingkungan dan hak asasi manusia menyatakan kekecewaannya terhadap MK dan putusannya.

Bacaan Lainnya

“Putusan MK terkait uji formil UU CK memberikan tanda bahwa perjuangan untuk mempertahankan ruang-ruang hidup dan penghidupan masyarakat kini semakin berat. Hal tersebut karena yang diutamakan adalah kepastian bisa masuknya investasi melalui peraturan perundang-undangan, sehingga partisipasi yang bermakna dari masyarakat menjadi tidak penting lagi. Hal tersebut tercermin dari putusan MK tersebut,” kata Susan, Jumat (6/10/2023).

KIARA mencatat bahwa terdapat berbagai substansi yang berpotensi menimbulkan permasalahan di sektor pesisir dan laut yang terkandung dalam materiil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Beberapa diantaranya adalah pertama, membebankan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan secara tradisional untuk wajib memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dari Pemerintah Pusat.

Kedua, melanggengkan praktik perampasan ruang di wilayah pesisir dan laut atas nama kebijakan nasional yang bersifat strategis.

Ketiga, melanggengkan praktik liberalisasi dan privatisasi pemanfaatan pulau-pulau pulau kecil dan perairan disekitarnya kepada penanaman modal asing (PMA) dengan skema perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat.

Keempat, membuka ruang untuk perubahan atau alih fungsi status zona inti pada kawasan konservasi nasional. Hal ini bertentangan dengan precautionary principle atau asas kehati-hatian, karena akan membuka kesempatan industri ekstraktif.

Kelima, UU Nomor 6 Tahun 2023 tidak mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat pesisir sebagaimana telah diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010.

Susan menambahkan bahwa catatan lainnya KIARA terhadap UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja adalah penghapusan skala tonnase kapal nelayan kecil dalam terminologi nelayan kecil.

“Ini menjadi celah bagi nelayan yang bukan skala kecil untuk melakukan produksi pada daerah penangkapan ikan yang tidak diperbolehkan, serta akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil,” tegas Susan.

“Dalam UU Perikanan sudah jelas bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT,” sambungnya.

Lebih jauh, hasil putusan MK yang menyatakan menolak gugatan uji formil UU Cipta Kerja memperlihatkan kepada publik bahwa dalam MK tidak menjalankan putusan MK itu sendiri yang menyebutkan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat.

“Seharusnya MK tetap menjadi gerbang pelindung konstitusi terakhir, terutama dalam perlindungan hak-hak masyarakat, baik nelayan, petani, buruh, masyarakat adat hingga pemerhati lingkungan dan hak asasi manusia, sebagaimana UU Cipta Kerja berpotensi merampas hak-hak masyarakat,” jelasnya.

Dalam kondisi hari ini, proses penyusunan Perppu Cipta Kerja karena kegentingan memaksa hanya menjadi akal-akalan pemerintah untuk melegitimasi masuknya investasi.

“Proses panjang UU Cipta Kerja menjadi Perppu Cipta Kerja dan kini kembali sah dan konstitusional menjadi UU Cipta Kerja menegaskan adanya konflik kepentingan antar lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif di Indonesia,” pungkas Susan. (Pin/Rls)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *