JAKARTA-ZONASIDIK.COM| Pemerintah Pusat baru saja menetapkan dan mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur pada Selasa, 6 Maret 2023.
Pengesahan ini menjadi penanda bahwa kritik dan masukan dari berbagai elemen masyarakat tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penangkapan Ikan Terukur (PIT) tidak didengar oleh Pemerintah Pusat. PP PIT menjadi pintu masuk eksploitasi sumber daya perikanan atas nama investasi tanpa kajian secara berbasis ilmiah/scientific.
Tanpa adanya uji coba yang berbasis ilmiah dan berdasar pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Kepmen KP No. 19 Tahun 2022 seharusnya menjadi dasar pengambilan keputusan karena status potensi SDI dan tingkat pemanfaatan yang berada mayoritas WPP telah menunjukkan status full dan over exploited.
Menanggapi pengesahan PP Penangkapan Ikan Terukur, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa pengesahan PP Penangkapan Ikan Terukur semakin menunjukkan watak asli rezim saat ini yang hanya berorientasi pada masuknya investasi dan bertentangan aspek keberlanjutan ekologis dan stok sumber daya perikanan.
“Penangkapan Ikan Terukur menjadi pintu masuk eksploitasi dengan kedok investasi dan penangkapan yang terukur. Pengesahan ini jelas bertentangan dengan prinsip atau asas keadilan dan kelestarian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang tentang Perikanan,” kata Susan, Kamis (9/3/2023).
KIARA memandang bahwa terdapat problematika yang mendasar dalam materiil kebijakan PP Penangkapan Ikan Terukur. Ada 7 catatan KIARA terhadap PP Penangkapan Ikan Terukur diantaranya Pertama, terkait dengan pertimbangan bahwa PIT sebagai alat untuk mencapai keberlanjutan tanpa disertai dengan penelitian yang ilmiah dan scientific berpotensi membahayakan keberlanjutan sumberdaya perikanan karena status pemanfaatan di WPP NRI telah dalam kondisi yang penuh dan berlebihan.
“Terminologi penangkapan ikan terukur juga tidak ditemukan dalam Undang-Undang Perikanan, sehingga perumusan kebijakan ini bukan merupakan mandat konstitusi,” jelas Susan.
Kedua, dalam substansi PP Penangkapan Ikan Terukur, kategori skala tonnase kapal pada nelayan kecil juga tidak disebutkan sehingga dapat menjadi celah bagi nelayan yang bukan skala kecil untuk melakukan produksi pada daerah penangkapan ikan terbatas.
Ketiga, pemberian kuota industri dalam PP Penangkapan Ikan Terukur akan memberikan ruang masuknya investasi penanaman modal asing (PMA) di zona 01 sampai 04. Hal ini bertentangan dengan semangat UU Perikanan yang menyatakan bahwa usaha perikanan di WPPNRI hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Keempat, adanya ambiguitas dalam defenisi nelayan kecil dan nelayan lokal dalam PP PIT serta pemberian kuota nelayan lokal akan membatasi daya jelajah nelayan hanya maksimal sejauh 12 mil. Hal ini jelas bertentangan dengan daya jelajah nelayan tradisional dan kecil diberbagai tempat seperti di Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dsb, yang sehari-hari melaut melewati 12 mil laut.
Kelima, pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan dikenakan kepada kuota industri, kuota nelayan lokal bahkan kuota kegiatan bukan tujuan komersial.
“Hal ini menunjukkan bahwa semangat PP Penangkapan Ikan Terukur hanya berorientasi pada penarikan PNBP di sektor perikanan dan kelautan, karena nelayan lokal dibawah 10 GT dan kegiatan bukan komersial juga akan dikenakan pungutan tersebut,” tegasnya.
Keenam, PP Penangkapan Ikan Terukur akan melanggengkan praktik alih muatan/transhipment di tengah laut. Hal ini tentu berpotensi menjadi celah karena hingga saat ini minimnya kontrol dan pengawasan yang dilakukan oleh KKP, mengingat contoh implementasi pengawasan terhadap kapal dengan alat tangkap cantrang masih minim dan alat tangkap tersebut masih beroperasi diberbagai tempat.
Dan terakhir Ketujuh, minimnya sanksi pidana yang dapat memberikan efek jera terhadap pelaku pelanggaran karena masih mengedepankan sanksi administratif dalam PP Penangkapan Ikan Terukur.
“KIARA bersama nelayan tradisional di Indonesia secara tegas meminta kepada Pemerintah untuk menghentikan dan mencabut PP Penangkapan Ikan Terukur karena tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan di Indonesia serta bertentangan dengan UU Perikanan,” imbuhnya.
“Seharusnya untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna, serta sesuai dengan kebutuhan nelayan dan masyarakat bahari lainnya!,” pungkas Susan. (Pin/Rls)