Tidak Ada Sanksi Tegas, KIARA: Restorasi Hanya Formalitas Tanpa Menyentuh Akar Permasalahan

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

JAKARTA-ZONASIDIK.COM| Masyarakat pesisir Minanga mengadukan update terbaru terkait aktivitas PT. TJ Silfanus di pesisir pantai Minanga.

Masyarakat menyampaikan bahwa hingga sampai saat ini, belum ada aksi nyata yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melindungi dan melakukan rehabilitasi terhadap ekosistem terumbu karang yang telah dirusak oleh PT. TJ Silfanus melalui aktivitas penimbunan di Pantai Minanga.

Aduan lainnya dari masyarakat Pantai Minanga menyebutkan bahwa pada pertengahan Maret 2023, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2023, PT. TJ Silfanus melakukan restorasi terumbu karang disekitar Pantai Minanga.

Bacaan Lainnya

Tetapi dalam aduannya, masyarakat menyebutkan bahwa restorasi yang dilakukan tersebut tidak menyentuh lokasi spesifik terumbu karang yang telah rusak akibat aktivitas destruktif penimbunan pantai untuk mega proyek mereka, sebagaimana potret kerusakan ekosistem terumbu karang tersebut telah didokumentasikan oleh Tim Scientific Exploration bersama KELOLA.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan bahwa praktik restorasi terumbu karang yang dilakukan oleh PT. TJ Silfanus tidak serta merta menghilangkan dosa lingkungan yang telah mereka lakukan di Pantai Minanga.

“Masyarakat Pantai Minanga secara sadar telah mengetahui adanya kerusakan ekosistem terumbu karang yang dilakukan oleh perusahaan akibat penimbunan pantai. Praktik seperti ini akan melegitimasi perusakan-perusakan ditempat lain dengan dalih ekosistem yang terdampak nanti akan direstorasi,” ucap Susan, Sabtu (18/03/2023).

“Seharusnya langkah yang utama dilakukan adalah pencegahan perusakan melalui tidak adanya aktivitas destruktif (yang merusak) serta mengubah peruntukan ruang dikawasan pesisir dan pulau kecil, serta harus disusunnya kajian lingkungan hidup sementara (KLHS). Hal ini untuk mencegah praktik-praktik perusakan lingkungan dan menjalankan amanat konstitusi untuk perlindungan lingkungan, pesisir dan pulau-pulau kecil,” sambungnya.

KIARA mencatat bahwa mandat konstitusi untuk perlindungan lingkungan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil beserta masyarakat dan ekosistem yang ada di dalamnya telah dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 3 Tahun 2010.

“Ketiga produk hukum ini sangat kuat untuk melindungi dan mencegah perusakan lingkungan, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ketentuan hukuman (punishment) kepada pelaku perusak lingkungan,” jelas Susan.

“KIARA melihat aktivitas restorasi yang dilakukan oleh perusahaan merupakan bentuk formalitas akibat adanya sanksi administrasi yang dikenakan oleh KKP. Seharusnya langkah konkret yang harus dilakukan oleh PT. TJ Silfanus adalah membatalkan mega proyek ambisius tersebut dan angkat kaki dari Pantai Minanga. Penegakan hukum yang dilakukan KKP melalui Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) seharusnya mengambil jalur hukum yang tegas yaitu mengenakan sanksi pidana sebagaimana diamatkan dalam UU No. 1 Tahun 2014 jo. UU No. 27 Tahun 2007, sehingga menimbulkan efek jera bagi perusahaan pelaku dan contoh tegas untuk perusahaan lainnya,” desak Susan.

Lanjut Susan, KKP melalui PSDKP sebagai penegak hukum seharusnya bertanggung jawab dengan hal tersebut. Jika masyarakat biasa mengambil karang dengan alasan membuat konstruksi bangunan itu secara tegas dilarang, dengan alasan harus peduli dan jaga terumbu karang, tapi kenapa pelaku perusakan sekelas perusahaan diberikan ruang untuk merusak ekosistem pesisir dengan jaminan ada rehabilitasi.

Menurutnya, ini memperlihatkan bahwa ada indikasi kepentingan finansial kuat atas nama investasi dibalik hal tersebut.

Aduan terakhir masyarakat menyebutkan bahwa kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut hanya mengundang segelintir orang yang merupakan tokoh agama yang tinggal dikampung baru.

“Masyarakat Pantai Minanga dengan mudah membaca situasi tersebut sebagai bentuk politik adu domba yang dilakukan oleh perusahaan. Masyarakat Pantai Minanga meminta ketegasan KKP yang menyuarakan perlindungan dan peduli terumbu karang, tetapi abai dalam hal kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak investor. Prinsip persamaan di hadapan hukum (equlity before the law) harus dijalankan tanpa membeda-bedakan antara rakyat kecil dan investor,” pungkas Susan. (Pin/Rls)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *