International Women Day 2023, Momentum Pengakuan Identitas Politik Perempuan Nelayan

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

JAKARTA-ZONASIDIK.COM| Setiap 8 Maret merupakan momentum penting tonggak gerakan perempuan dunia yang diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day atau IWD). IWD bukan hanya seremonial tahunan biasa, tetapi menjadi momentum refleksi untuk seluruh lapisan elemen masyarakat terkait penindasan atas hak-hak perempuan yang berakar dari praktik budaya patriarkis yang telah menjadi warisan buruk yang terus dijalankan.

Dalam memperingati IWD 2023, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati menyatakan bahwa hingga IWD 2023, praktik budaya patriarkis yang dialami oleh perempuan nelayan masih terus berlanjut.

“Praktik patriarkis masih beroperasi dalam sistem sosial dan sistem bernegara, bahkan telah merampas hak dan kuasa perempuan nelayan atas pikiran, tubuh, pesisir dan laut sebagai ruang produksinya. Berbagai standar dan stigma yang dilekatkan kepada perempuan khususnya perempuan nelayan juga menyebabkan dirampasnya eksistensi dan kemandirian perempuan nelayan untuk menentukan kehendak serta mendapatkan haknya,” tegas Susan.

Bacaan Lainnya

KIARA mencatat bahwa perempuan nelayan memiliki peran yang sangat penting dalam menopang perekonomian kehidupan rumah tangga perikanan. Pusat data KIARA mencatat bahwa perempuan nelayan berkontribusi sebesar 48 persen terhadap pendapatan keluarga nelayan, bahkan perempuan nelayan berkontribusi selama 17 jam sehari untuk bekerja dari praproduksi hingga pasca produksi dalam rantai produksi perikanan rumah tangga nelayan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki kontribusi dan relasi yang kuat dengan lingkungan dan sistem produksi nelayan tradisional.

“Saat ini, kondisi tersebut diperparah dengan berbagai kondisi seperti krisis iklim yang tengah terjadi hingga kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak disadari berdampak terhadap perempuan nelayan. Beberapa contoh diantaranya ada terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang kini diganti menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja)”

“Dalam substansinya, Perppu Cipta Kerja memaksa setiap nelayan dan perempuan nelayan yang melakukan usaha perikanan untuk wajib memiliki perizinan berusaha dan menghapus pengecualian bagi nelayan dan perempuan nelayan tradisional dalam Pasal 26 UU No. 7 Tahun 2016. Hal tersebut akan berdampak semakin dipersulitnya aktivitas pengolahan perikanan hasil produksi nelayan dan perempuan nelayan yang dilakukan secara swadaya dan tradisional serta jika mereka tetap melaksanakan aktivitas tersebut, akan rentan terhadap kriminalisasi dengan dipidana paling lama 8 tahun dan pidana denda sebesar 1,5 miliar,” sambungnya.

Lanjutnya, tingginya kontribusi perempuan nelayan dalam rantai produksi perikanan disertai dengan berbagai kerentanan yang membanyangi mereka, seharusnya pemerintah memberikan pengakuan profesi nelayan terhadap perempuan nelayan sehingga status identitas politik perempuan nelayan dapat diwujudkan dalam berbagai dokumen administratif pemerintahan.

Dengan pengakuan status identitas tersebut, perempuan nelayan akan mendapatkan kartu nelayan, asuransi, fasilitas, bantuan dan kemudahan lainnya sebagaimana yang diterima oleh nelayan tradisional lainnya.

“Pengakuan kesetaraan status identitas dan hak perempuan nelayan telah diawali di Kabupaten Demak yang memberikan pengakuan terhadap 31 perempuan nelayan. Pemerintah dalam hal ini adalah KKP, DKP dan Kementerian atau Lembaga terkait lainnya seharusnya berperan aktif dan menjemput bola dalam pengakuan status identitas perempuan nelayan serta harus belajar dari success story perjuangan perempuan nelayan di Kabupaten Demak. Perempuan sebagai nelayan adalah satu profesi yang butuh pengakuan atas hak dan kesetaraan dari pemerintah!,” pungkas Susan. (Pin/Rls)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *