Perdamaian Tulus Jadi Kunci, Kajari Anambas Terapkan Restorative Justice

Kajari Kepulauan Anambas, Dr. Budhi Purwanto, S.H., M.H., (kanan) foto bersama tersangka usai penyerahan SKP2 di Balai Desa Tarempa Barat, Selasa (30/9/2025)

ANAMBAS-ZONASIDIK.COM | Kejaksaan Negeri Kepulauan Anambas resmi menghentikan penuntutan sejumlah perkara kekerasan setelah para pihak mencapai kesepakatan damai. Hal tersebut ditandai dengan penyerahan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) melalui mekanisme Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ), Selasa (30/9/2025).

Kepala Kejari Kepulauan Anambas, Budhi Purwanto, menjelaskan, penyelesaian perkara ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan, di antaranya pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukumannya di bawah lima tahun, korban telah memberikan maaf, perkara tergolong tindak pidana ringan, serta adanya respon positif dari masyarakat.

“Dengan kondisi tersebut, kami berupaya menyelesaikan perkara melalui pendekatan keadilan restoratif. Perdamaian yang ditempuh ini harus tulus dan tanpa syarat, bukan bersifat transaksional. Harapan kami, maaf yang diberikan benar-benar lahir dari hati,” ujar Kajari Budi.

Bacaan Lainnya

Ia menegaskan, restorative justice bukanlah ruang untuk memperjualbelikan perdamaian. Jika pun ada syarat yang diajukan oleh pihak korban, selama masih dalam batas kewajaran dan dapat dipenuhi, maka bisa dipertimbangkan. Namun prinsip utama tetap pada perdamaian yang murni tanpa syarat.

Adapun perkara yang diselesaikan melalui restorative justice kali ini terdiri dari 2 kasus berbeda, namun semuanya berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap anak maupun kekerasan dalam rumah tangga.

Dua di antaranya melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN), berinisial RA dan H. Keduanya disangka melanggar Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 351 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, dalam perkara berbeda dengan inisial Y ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Ia disangka melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) atau Pasal 80 ayat (1) jo. ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Anak.

Tidak hanya berhenti pada penghentian penuntutan, pihak kejaksaan juga menekankan pentingnya pemulihan psikologis dan sosial korban. Untuk itu, Kejari berkoordinasi dengan Dinas Sosial guna memberikan pendampingan konselor di sekolah, membantu pemulihan trauma sekaligus pembinaan mental bagi anak korban.

“Pelaksanaan keadilan restoratif tidak bisa dijalankan kejaksaan sendiri, melainkan harus melibatkan pemerintah daerah dan dinas terkait. Misalnya, apabila pelaku mendapat sanksi sosial berupa kerja sosial, maka pekerjaannya harus benar-benar nyata dilaksanakan dengan pengawasan instansi terkait,” tambah Budi.

Ia menutup dengan menegaskan bahwa keadilan restoratif hadir bukan untuk melindungi pelaku semata, melainkan untuk memastikan keadilan, pemulihan korban, dan menjaga keharmonisan masyarakat. (Pin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *