Amriansyah Amir, S.Pi
Fungsional Pengelola Produksi Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri
Pada tanggal 15 November 2022 kemarin, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 dibuka di Bali yang dihadiri langsung oleh para pimpinan dari negara anggota dan lembaga internasional lainnya. Acara ini dilaksanakan pada 15-16 November 2022 dengan 3 (tiga) topik besar yaitu Penguatan arsitektur kesehatan global, Transformasi digital, dan Transisi energi.
Melalui topik besar Transisi energi, Indonesia yang saat ini dipercaya sebagai pemegang presidensi G20 dapat ikut andil untuk menawarkan kesepakatan-kesepakatan dalam menanggulangi potensi krisis pangan, krisis energi, perubahan iklim, ancaman resesi, tingginya inflasi serta sub-topik lainnya.
Adapun pengembangan aspek yang menjadi peluang bagi Indonesia dalam mengajukan gagasan-gagasan cemerlang yaitu di bidang kelautan dan perikanan. Seperti yang kita ketahui bersama, negara-negara anggota G20 merupakan 20 ekonomi terbesar di dunia, seperti AS, Rusia, Cina, India, Jepang, Brazil, Indonesia, Inggris, Prancis, Australia dan negara lainnya. Kehadiran Sekretaris Jenderal PBB dan organisasi internasional lainnya seperti WTO, IMF dan ILO dll memperkuat legitimasi terhadap gagasan yang disepakati.
Negara-negara tersebut diatas sebagian besar adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak dan tentu saja pengonsumsi ikan terbesar di dunia. Konsumsi ikan yang makin meningkat dengan eksploitasinya yang mulai mengancam kelestarian perikanan yang berkelanjutan seharusnya dapat menarik perhatian para pemimpin di forum G20 untuk bersepakat dalam pengelolaan perikanan yang lebih baik.
Saat ini negara-negara maju dalam bidang penangkapan ikan dengan armada penangkapan ikan yang sangat luar biasa telah mengeksploitasi laut beserta isinya secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keberlanjutannya. Harusnya produktivitas dan nilai keekonomian sumberdaya perikanan serta konservasi lingkungannya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan pengembangan dan pemberdayaan sosial serta kapasitas diri sumber daya manusianya karena produktivitas dihasilkan dari lingkungan yang lestari dan terjaga dari perbuatan yang merusak dan eksploitasi secara berlebihan.
Ide, strategi, dan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang sangat baik untuk ditawarkan di forum G20 tentang ekonomi biru yang menitikberatkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi pada kegiatan di ruang laut guna mewujudkan laut yang sehat, aman, tangguh dan produktif demi kesejahteraan bangsa. Pengaturan masing-masing negara atas lautnya secara menyeluruh perlu menyeimbangkan keberlanjutan ekologi dan ekonomi.
Strategi pertama adalah perluasan kawasan konservasi laut yang sangat berkaitan erat dengan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kawasan konservasi Indonesia seluas 28,4 juta hektar melindungi ekosistem pesisir yang penting bagi ketahanan iklim. Strategi kedua yaitu pengelolaan sampah laut. Strategi ketiga adalah pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil berkelanjutan yang dilakukan melalui: penguatan regulasi perlindungan kawasan cagar karbon biru; mengalokasikan ruang untuk memelihara/meningkatkan cadangan karbon biru; meningkatkan kualitas kawasan cadangan karbon biru; dan penguatan sinergi pengelolaan karbon biru di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (kkp.go.id).
Sumber daya perikanan merupakan milik bersama. Inisiatif Kementerian Kelautan dan Perikanan ini apabila diikuti oleh negara-negara lain dengan disertai kebijakan pengelolaan pemanfaatan perikanan lestari yang berkelanjutan tentu akan menimbulkan dampak positif kedepannya. Niat baik Indonesia dengan menetapkan 15 (lima belas) lokasi sebagai kawasan khusus untuk pengendalian lingkungan berupa kawasan cagar karbon biru dan menempatkan seluruh kawasan restorasi mangrove di bawah zona pengelolaan ekosistem pesisir tidak ada artinya jika pemanfaatan yang memiliki motivasi hanya untuk mendapatkan manfaat akan terus melakukan eksploitasi dan memicu pada eksploitasi sumber daya perikanan tangkap secara berlebihan dan akan memicu konflik dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang ada. Untuk itu usaha tersebut harus diatur dengan kebijakan dan memperhatikan faktor-faktor yang terkait seperti kapasitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi terbaru, perubahan iklim, daya dukung lingkungan, sarana produksi penangkapan ikan, dan dukungan finansial.
Adapun contoh kebijakan yang dapat dilakukan negara-negara maju yaitu melakukan pembatasan armada penangkapan ikan tonase besar dalam mengeksploitasi sumberdaya perikanan, mencegah pelanggaran kapal perikanan masuk ke wilayah negara lainnya dengan ilegal, mengantisipasi overfishing, memberikan insentif untuk nelayan kecil negara lain yang telah menerapkan strategi ekonomi biru untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui dukungan teknologi alat bantu penangkapan ikan, pengalihan penggunaan energi fosil ke energi yang terbarukan yang pada akhirnya membantu memperbaiki perubahan iklim ke arah yang lebih baik.
Apabila ada kesepakatan yang baik, tidak menutup kemungkinan dari pertemuan G20 pada saat ini, beberapa tahun ke depan kita akan melihat nelayan kecil melaut dengan armada penangkapan ikan menggunakan motor listrik, memanfaatkan sumber energi tenaga surya dari sinar matahari yang melimpah, menguasai teknologi fishfinder terbaru yang akurat dan efisien, berbekal aplikasi handphone dan radio komunikasi yang terintegrasi dengan berbagai instansi untuk informasi perikanan dan kelautan, serta munculnya nelayan-nelayan profesional dan mandiri dengan ketersediaan dukungan modal dan finansial yang mudah diakses. Ya, semoga saja efek positif G20 itu menjadi nyata.