Amriansyah Amir, S.Pi Selaku Fungsional Pengelola Produksi Perikanan Tangkap (P3T) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2022 Tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang ditandatangani langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Sakti Wahyu Trenggono, pada tanggal 29 Maret 2022. Kepmen ini menggantikan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50/KEPMEN-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang digunakan sebagai pertimbangan dan acuan dalam menetapkan dan penentuan lebih lanjut alokasi atau kuota sumberdaya ikan.
Penetapan stok sumber daya ikan ini dikaji dan ditelaah secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (KOMNAS KAJISKAN) sebagai pemegang mandat dari KKP. Komisi ini merupakan lembaga ad hoc nonstruktural di bawah Menteri KP yang beranggotakan 35 pakar dan akademisi dari lembaga riset, perguruan tinggi, dan lembaga swasta lainnya yang mempunyai tugas memberikan masukan dan/atau rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai estimasi potensi Sumber Daya Ikan (SDI), Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan SDI melalui penghimpunan dan penelaahan hasil penelitian atau pengkajian mengenai sumber daya ikan (SDI) dari berbagai sumber, termasuk best scientific evidence available (bukti ilmiah yang tersedia).
Penetapan stok sumberdaya ikan yang tercantum di dalam lampiran Kepmen tersebut mencakup seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) termasuk Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan bagian dari WPP 711. Angka estimasi potensi sumber daya ikan (SDI), jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB), dan tingkat pemanfaatan SDI digunakan sebagai informasi Potential Fishing Ground dan efisiensi teknis sistem penangkapan ikan, mengetahui angka potensi dan status stok SDI, serta menjadi bahan rekomendasi dalam menetapkan JTB dan jumlah kapal maksimum di setiap WPP.
Tabel 1. Estimasi Potensi SDI, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan SDI di Wilayah Pengelolaan Perikanan 711 (Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara)
No. | Jenis SDI | Estimasi Potensi (ton) | JTB (ton) | Tingkat Pemanfaatan |
1. | Ikan Pelagis Kecil | 536.917 | 375.842 | 0,9 |
2. | Ikan Pelagis Besar | 163.744 | 114.621 | 0,7 |
3. | Ikan Demersal | 289.300 | 202.510 | 0,8 |
4. | Ikan Karang | 197.580 | 138.306 | 0,5 |
5. | Udang Penaeid | 71.810 | 50.267 | 0,6 |
6. | Lobster | 1.467 | 734 | 1,1 |
7. | Kepiting | 3.388 | 1.694 | 1,9 |
8. | Rajungan | 9.804 | 4.902 | 1,2 |
9. | Cumi-Cumi | 32.369 | 22.658 | 0,5 |
Berdasarkan data pada tabel 1 diatas, terdapat 3 (tiga) jenis komoditas yang tingkat pemanfaatannya telah melebihi batas di WPP 711 yaitu Lobster, Kepiting, Rajungan. Angka yang tercantum tersebut merupakan hasil dari pendataan perikanan seperti statistik perikanan tangkap, log book penangkapan ikan, observer on board, penelitian, dll. Perlu pengaturan lebih lanjut agar upaya penangkapan komoditas tersebut dapat dikurangi sehingga tidak melebihi Maximum Sustainable Yield (MSY). Secara teoritis memiliki pengertian sebagai jumlah tangkapan ikan (predator) terbesar yang dapat diambil dari persediaan suatu jenis ikan (prey) dalam jangka waktu yang tak terbatas. Rumus MSY ini digunakan untuk menentukan batas maksimal sebuah sumberdaya dapat ditangkap dalam alam bebas untuk kepentingan ekonomi agar sumberdaya tersebut tetap dapat lestari dengan memperhatikan kondisi alamiah dari sumberdaya tersebut.
Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil (poin 1) di WPP 711 sudah mencapai nilai 0,9 dan hampir mendekati batas tingkat pemanfaatan yang sehat. Tidak heran hal ini dapat terjadi mengingat banyaknya kapal-kapal perikanan dengan Gross tonnage (GT) besar yang beroperasi di WPP 711. GT merupakan suatu ukuran yang menunjukkan besarnya volume kapal untuk menampung hasil dari operasi penangkapan ikan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Pada pengaturannya kapal-kapal GT besar ini hanya boleh beroperasi pada Jalur Penangkapan Ikan III di WPP 711 yaitu diatas 30 (tiga puluh) mil laut. Namun kenyataannya banyak laporan dari nelayan kecil di sekitar Kepulauan Anambas dan Natuna yang mendapati kapal-kapal >30 GT beroperasi dibawah jarak tersebut. Hal ini tentu merugikan bagi nelayan lokal dengan armada penangkapan ikan GT kecil, alat penangkapan ikan yang masih sederhana, dan modal yang minim telah membatasi langkah mereka untuk menangkap ikan dalam jumlah besar, ditambah lagi harus bersaing dengan kapal-kapal nakal tersebut.
Nelayan di Kepulauan Riau, terutama di Kepulauan Anambas dan Natuna sebagai tuan rumah di WPP 711 seharusnya berhak untuk mendapatkan manfaat paling besar dari potensi perikanan yang ada di halaman rumah mereka. Kearifan nelayan lokal dengan menangkap ikan dalam kapasitas terbatas tanpa disadari telah mendukung kelestarian perikanan yang berkelanjutan, sudah seharusnya mereka mendapat perhatian dan perlindungan lebih mengingat kerentanan ekonomi mereka akibat perubahan cuaca dan eksploitasi berlebih oleh pengusaha perikanan dengan modal besar.
Pekerjaan sebagai nelayan adalah penyambung hidup mereka, apabila potensi perikanan telah melebihi batas lestarinya maka mereka harus mencari lahan pekerjaan lain yang belum tentu tersedia. Hilangnya lahan pekerjaan akan menimbulkan pengangguran dengan dampak ekonomi dan sosial seperti tindak kriminalitas yang meresahkan masyarakat, misalnya perampokan, penjambretan, kecanduan alkohol, dan kerawanan sosial lainnya. Jumlah pengangguran yang tinggi akan mengakibatkan kemakmuran masyarakat berkurang, hal ini akan berdampak pada tingkat pendapatan yang rendah, maka daya beli masyarakat juga rendah sehingga produktifitas juga menjadi rendah, akibatnya pertumbuhan ekonomi terhambat, standar kehidupan menurun, dan penghasilan pajak negara menurun.
Semoga angka estimasi potensi SDI, jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan SDI yang tercantum di dalam Kepmen KP tersebut tidak hanya menjadi perhitungan secara ekonomi oleh pengusaha perikanan dengan kapal-kapal besar tanpa mempertimbangkan aspek ekologi dan aspek sosial nelayan tempatan. Aspirasi nelayan kecil tetap harus di dengar karena bagaimanapun merekalah yang telah menjaga pulau-pulau terdepan di NKRI terutama di Provinsi Kepulauan Riau. Apapun wacana dan program yang akan diterapkan berdasarkan potensi perikanan ini. Jangan sampai seperti peribahasa “Ayam mati di lumbung padi”. Semoga dengan momen peringatan Hari Nelayan Nasional 6 April 2022 kemarin, nelayan Kepulauan Riau semakin tangguh, maju, dan menjadi tuan di negeri sendiri.