HNSI Anambas: Cantrang Diizinkan, Nasib Nelayan Anambas Terancam

ANAMBAS-ZONASIDIK.COM| Puluhan ribu nelayan tangkap di Kabupaten Kepulauan Anambas (KKA) nasibnya terancam. Hal tersebut dikarenakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia kembali melegalkan alat tangkap cantrang di laut Natuna Utara.

“Sejak terbitnya aturan baru terkait izin cantrang dan pukat harimau nelayan di Anambas yang masih tradisional dengan alat tangkap ikan pancing ulur sangat terancam akan hasil tangkapannya,” ungkap Yuni Saputra bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) KKA kepada awak media, Sabtu (02/01/2021).

Bahkan kondisi saat ini, kata Yuni, nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas mengeluhkan karena hasil tangkapan yang terus berkurang.

Bacaan Lainnya

Keluhan nelayan tangkap di Kabupaten Kepulauan Anambas bukan tanpa sebab, lanjut Yuni, karena beberapa faktor seperti banyaknya jumlah kapal berukuran besar diatas 30 GT beroperasi di laut Natuna Utara dengan alat tangkap jaring.

“Nelayan tangkap di Anambas menurut data dari Dinas Perikanan, Pertanian dan Pangan (DP3) KKA per November 2020 berjumlah 3360 orang, semua itu nelayan kecil dengan alat penangkapan ikan pancing ulur menggunakan armada ukuran 5 GT yang sering mengeluhkan hasil tangkapan berkurang dan semakin hari semakin jauh melaut karena di laut pesisir sulit mendapatkan ikan,” jelasnya.

Oleh karenanya, lanjut Yuni, dengan diizinkan alat tangkap cantrang dan pukat harimau sama saja KKP akan membunuh nelayan kecil yang berada di Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna.

“Hampir 100 persen pelaku perikanan di Anambas dan Natuna adalah nelayan tradisional atau nelayan kecil, kalau cantrang dan pukat harimau beroperasi akan menimbulkan kemiskinan kepada nelayan dan masyarakat secara umum yang perekonomian berngatung dari hasil laut,” terangnya.

Tidak hanya itu, Humas HNSI Kabupaten Kepulauan Anambas itu juga mengatakan perekonomian di Kabupaten Kepulauan Anambas khususnya digerakkan oleh nelayan.

“Nelayan adalah konsumen yang loyal, setiap hari belanja untuk keperluan melaut dan kebutuhan sehari-hari, kalau pendapatan nelayan menurun akan berdampak kepada daya beli nantinya, tentu berimbas pada perekonomian di daerah. Sekali melaut nelayan Anambas membutuh ransum, es, alat pancing dan perlengkapan lainnya yang bernilai dari ratusan ribu-jutaan,” sebutnya.

“Ia itulah, nelayan kita adalah nelayan pancing ulur dan telah menjadi kearifan lokal yang sampai sekarang kita pertahankan,” sambungnya.

Yuni kembali mengatakan, dengan diizinkan alat tangkap cantrang dan pukat harimau melalui Permen-KP 59/2020 nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas dan Natuna merasa resah dan terancam.

“Karena itulah sikap HNSI Anambas menolak aturan baru tersebut, semata-mata untuk kepetingan nelayan bukan hanya di Anambas tetapi nelayan di Provinsi Kepri, kepentingan daerah, kepentingan nasional dan untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan,” tegasnya.

Diketahui, larangan penggunaan cantrang sebelumnya ditetapkan oleh Mantan Menteri KP Susi Pudjiastuti sejak Desember 2016 karena dinilai menyebabkan kehancuran habitat di laut. Salah satunya karena cantrang memiliki tali hingga 6 kilometer. Padahal dibeberapa titik di laut Jawa, kedalamnya hanya 60 meter.

Ketentuan mengenai larangan ini diatur Susi dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 71 Tahun 2016. Dalam pasal 21 ayat 2 disebutkan berbagai jenis alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Di antaranya yaitu pertama pukat tarik (seine nets). Ini terdiri dari dogol (danish seines), scottish seines, pair seines, cantrang, dan lampara dasar.

Kedua yaitu pukat hela (trawls), yang meliputi pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela dasar berpalang (beam trawls), pukat hela dasar berpapan (otter trawls), pukat hela dasar dua kapal (pair trawls), nephrops trawl, pukat hela dasar udang (shrimp trawls), dan jenis lainnya. Ketiga yaitu perangkap, seperti perangkap ikan peloncat (aerial traps) dan muro ami.

Masih di era Susi, pada 1 Desember 2017, laman resmi KKP merilis Frequently Asked Questions (FAQ) Kebijakan Pelarangan Cantrang. Dalam FAQ ini, KKP menyatakan cantrang dilarang karena dinilai merusak ekosistem lautan. Menurut KKP, hasil tangkapan cantrang didominasi ikan kecil yang harganya pun murah di pasaran.

KKP lalu mengutip data WWF Indonesia bahwa sekitar 60-82 persen tangkapan cantrang adalah tangkapan sampingan atau tidak dimanfaatkan. Selain itu, cantrang selama ini telah menimbulkan konflik horizontal antar nelayan. Konflik penggunaan cantrang ini sudah berlangsung lama, bahkan sudah terjadi pembakaran kapal-kapal Cantrang oleh masyarakat. (Red)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *